Sejarah Situ Lengkong
Sejarah Situ Lengkong
Situ Lengkong adalah sebuah danau kecil seluas 57,95 hektar di daerah Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Di tengah situ, Nusa Gede seluas 9,25 hektar seperti tertidur abadi dengan hamparan hutan lebat dan perawan selama berabad-abad. Kelebatan hutan Nusa Gede menjadi makam bersemayam abadinya Raja-raja Kerajaan Panjalu.Dulunya, Nusa Gede merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu.
Situ Lengkong, juga disebut Situ Lengkong Panjalu, adalah suatu danau (situ dalam bahasa Sunda) yang terletak di Kecamatan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Situ Lengkong ditetapkan sebagai cagar alam (Natuurmonument) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch Indie) Nomor 6 pada tanggal 21 Februari 1919.
Konon, di kawasan Situ Lengkong itulah dahulunya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu Ciamis. Dengan adanya penermuan-penemuan sejarah itu, maka Panjalu berkembang sebagai kota daerah wisata, baik wisata alam, wisata budaya maupun sebagai wisata ziarah. Pentingnya daerah Panjalu sebagai cikal bakal kerajaan Sunda Kawali, maka Pemerintah Propinsi Jawa Barat, pada tanggal 17 Maret tahun 2004 mengukuhkan panjalu sebagai desa wisata.
Situ Lengkong terletak sekitar 35 km sebelah utara kota Kabupaten Ciamis atau 15 km sebelah barat Kota Kawali, berbatasan di sebelah utara dengan wilayah talaga Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, suatu lingkup wilayah komunitas yang dulu dikenal sebagai pusat kerajaan Panjalu. Temuan-temuan data kepurbakalaan, nilai- nilai social cultural serta jejak kesejahteraan lainnya yang kini masih terlestarikan, memberikan petunjuk tentang masalalu kota itu. Sebagai kota kerajaan kuno yang dikenal sebagai kerajaan Soko Galuh Panjalu. Ibu kota Kerajaan itu dibangun pada areal suatu danau (situ) seluas 70 Ha, yang kini disebut Situ Lengkong, terletak disepanjang tepi utara kota Panjalu, sekarang terdapat tiga buah Nusa (pulau kecil). Pada situ tersebut yang masing- masing digunakan sebagai tempat bangunan Istana Kerajaan, Kepatihan dan staf kerajaan dan sebagai taman rekreasi. Pendiri ibu kota kerajaan adalah tokoh karismatik leluhur Panjalu bernama Borosngora Raja Panjalu islam pertama.
Untuk menghormati jasa para leluhur Panjalu, maka sampai saat ini warga keturunan Panjalu biasa melaksanakan semacam upacara adat yang disebut Nyangku.Acara ini dilaksanakan pada tiap-tiap bulan Maulud dengan jalan membersihkan Bumi Alitbenda-benda pusaka yang disimpan di sebuah tempat khusus (semacam musium) yang disebut Bumi Alit. Panjalu berasal dari kata jalu (bhs.Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).
Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti "perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.
Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu Prabu Rahyang Kancana, Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah, Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan Raden Prajasasana Kyai Sakti.
Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada zaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa.
Pekerjaannya mengumpulkan herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.
Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir buku Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.
Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus (Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga). Sedangkan fauna yang hidup di pulau itu antara lain adalah Tupai (Calosciurus nigrittatus), Burung Hantu (Otus scop), dan Kelelawar (Pteropus vampyrus).
Wisatawan yang datang ke Panjalu pada umumnya adalah para penziarah mengunjungi Tokoh Raja Panjalu, teristimewa pemakaman Prabu Harian Kancana di Nusa Situ Lengkong (Situ Istana Kerajaan) serta danau itu sendiri yang bernuansa religius, disamping itu juga mengunjungi Musium Bumi Alit. Dimana disimpan benda- benda peninggalan bersejarah sepertiMenhir, Batu Pengsucian, Batu Penobatan, naskah- naskah danbenda- benda pekakas peninggalan milik Raja-raja dan Bupati Panjalu masalalu, terutama perkakas yang disebut benda pusaka Panjalu yang berupa Pedang, Cisdan Genta (lonceng kecil) peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora.
Tangga menuju makam.Menembus hutan.
Hawa sejuk menerpa badan takala saya berada di dalam hutan Nusa Gede.Puluhan tangga yang harus dilewati tak terasa karena kesejukannya ibarat morfin penghalau lelah.Terlebih kicauan burung yang berasal dari pohon-pohon tinggi seperti menyemangati saya menuju pusara makam di tengah hutan. “Assalamu’alaikum”. Saya dan sepupu saya mengucapkan salam kepada juru kunci makam dan para penghuni kubur. Saat itu, pengunjung makam hanyalah kami berempat.Kami duduk di sebelah selatan makam. Di depan kami ada tulisan doa dan tata cara ziarah. Kami pun mulai berdoa dengan dipimpin sepupu paling tua.
Kealamian hutan Nusa Gede.
Setengah perjalanan kami berdoa, bangunan rumah berkeramik putih ini tiba-tiba ramai dengan puluhan peziarah. Sepertinya sama seperti kami, datang dari luar Sunda. Dari dialek bahasanya, mereka adalah peziarah dari Jawa Timur. Tanpa banyak komando, sang pemimpin rombongan langsung memimpin tahlil dan berdoa kepada Allah. Makam Mbah Panjalu ini sontak gegap gempita dengan alunan doa. Saya sudah selesai.Tetapi antusiasme alunan peziarah membuat saya bergetar.Larut bersama mendoakan Wali Allah penyebar Islam di tanah Sunda dan ber-tawasul kepadanya.
Panjalu
Terjadinya Situ Lengkong Panjalu, tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Panjalu. Konon sekitar abad VII salah satu leluhur Panjalu bernama ‘Prabu Sanghyang Boros Ngora’ (Haji Dul Iman bin Umar bin Muhamad) berkelana dengan maksud mencari ilmu pengetahuan, sehingga sampailah di sebuah tempat yang di sekitarnya terdiri dari bebatuan dan pasir. Rupanya tanah yang diinjaknya itu adalah tanah suci Mekkah. Di sanalah ia beroleh ilmu sejati (Islam) yaitu ilmu yang membawa pada keselamatan dunia dan akhirat. Prabu Sanghyang Boros Ngora menguasai ilmu tersebut dengan sempurna.
Setelah itu, ia pulang dengan membawa oleh-oleh dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai gurunya, yakni Baginda Ali, r.a. Oleh-oleh dari sahabat Nabi tersebut tiada lain adalah pakaian kehajian, dan air zam-zam. Air zam-zam dibawanya dalam sebuah gayung yang permukaannya bolong-bolong, pemberian ayahnya Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Dengan izin Yang Maha Kuasa ia dapat membawa air zam-zam itu pulang ke tempat asalnya, Panjalu. Setibanya di Panjalu, air zam-zam itu ditumpahkannya di sebuah tempat yaitu Pasir Jambu, yang hingga kini menjadi sebuah danau yang indah yakni ‘Situ Lengkong’. Di tengah-tengah danau terdapat daratan yang dinamai ‘Nusa Gede’.Sampai saat ini, maka diyakinilah bahwa danau buatan ‘Situ Lengkong’ Panjalu terjadi karena tumpahan air zam-zam yang dibawa oleh leluhur Panjalu pada saat itu, yakni ‘Sanghyang Prabu Boros Ngora’.
Keabadian hutan di Nusa Gede.
Sejak saat itu, Sanghyang Prabu Boros Ngora mengislamkan kerajaan Panjalu.Dia menyebarkan agama Islam kepada rakyatnya.Kemudian, dia turun tahta dan digantikan putranya yaitu Hariang Kencana.Prabu Hariang Kencana lalu meneruskan syiar Islam seperti yang dilakukan oleh ayahnya.Hasilnya agama Islam berkembang kian luas di Panjalu dan sekitarnya, tanah Sunda.
Prabu Harian Kencana arif dan bijaksana memerintah Panjalu sampai wafat dan dimakamkan di Nusa Gede, di tengah Situ Lengkong. Adapun Boros Ngora adalah sosok yang selalu ingin berkelana sehingga sampai wafatpun tak diketahui di mana dia meninggal dan di mana pula ia dimakamkan. Tak satu orangpun tahu dimana letak makam Boros Ngora.Ini sesuai dengan amanat sewaktu dia masih hidup.“Siapa saja putra dan para cucuku kelak tidak usah tahu di mana aku dikubur”.
Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal.Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung. Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah
Catatan sejarah Yayasan Boros Ngora, mengungkapkan bahwa Kerajaan Panjalu (jaman dahulu) terbentuk dari gabungan 2 kerajaan, yakni kerajaan Gunung Bitung (Soko Galuhnya) dan kerajaan Karantenan Gunung Syawal. Tersebutlah ‘Sanghyang Tunggal Ratu Galuh Nyakra Wati Ing Tanah Jawa’ yang memimpin kerajaan Gunung Bitung, dan mewariskan kepemimpinannya kepada ‘Batara Babar Sajagat’ dan ‘Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa’.Keturunan ‘Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa’, yaitu; 1) Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan, 2) Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, dan 3) Sanghyang Ratu Permana Dewi, ketiganya merupakan anak kembar. Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan, menguasai ilmu keduniawian yang akhirnya pergi ke Kuningan, dan Sanghyang Pamunggang Sangrumanghyang, menguasai ilmu kedugalan yang akhirnya pergi ke Talaga, sedangkan Sanghyang Ratu Permana Dewi memiliki sifat yang berbeda dengan kedua kakaknya, ia menguasai ilmu kerahayuan dan kedamaian.
Sanghyang Ratu Permana Dewi, berdiam di Panjalu lalu menikah dengan keturunan kerajaan Karantenan Gunung Syawal yakni ‘Rangga Gumilang’, putra dari Raja Marangga Sakti sebagai buyut dari ‘Prabu Tisna Jati’ yang mewariskannya kepada putranya ‘Batara Layah’, diteruskan oleh ‘Karimun Putih’, dan akhirnya kepada ‘Marangga Sakti’ (ayah Rangga Gumilang).Ketika memerintah kerajaan Panjalu (Negara Soko Galuh), Sanghyang Ratu Permana Dewi mendapat gelar dari rakyatnya yaitu gelar ‘Soko Galuh Panjalu’. Panjalu berasal dari kata ‘jalu’ yang berarti laki-laki, kemudian ditambah awal kata ‘pan’, sehingga maksudnya berubah menjadi bukan laki-laki (melainkan perempuan). Palsafah hidup yang diajarkan oleh Sanghyang Ratu Permana Dewi adalah ‘Mangan Karna Halal, Pake Karna Suci, Tekad Ucap Lampah Sabenere’, yang artinya makan makanan yang halal, berpakaian yang bersih, itikad ucapan perilaku yang benar. Sampai saat ini palsafah tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat Panjalu.
Hasil pernikahan Sanghyang Ratu Permana Dewi dengan Rangga Gumilang melahirkan seorang putra bernama ‘Prabu Sanghyang Lembu Sampulur’, yang meneruskan memerintah kerajaan Panjalu, dan pada akhirnya diserahkan kepada ‘Prabu Sanghyang Cakra Dewa’. Nama Prabu Sanghyang Cakra Dewa, berarti menolak dewa, karena ia menguasai ilmu yang tinggi sehingga kurang percaya dengan adanya dewa ilmu ‘Sunda Wiwitan’ yang diajarkan oleh Prabu Sanghyang Cakra Dewa. Prabu Sanghyang Cakra Dewa, berputra 6 orang yaitu; 1) Sanghyang Lembu Sampulur, 2) Sanghyang Prabu Boros Ngora, 3) Sanghyang Panji Barani, 4) Ratu Marangprang Kencana Artas Wayang, 5) Ratu Pundut Agung, dan 6) Angga Runtin.
Sanghyang Prabu Boros Ngora (salah seorang putra Sanghyang Prabu Cakra Dewa), dinobatkan menjadi Raja Panjalu, kemudian memindahkan pusat kerajaan Panjalu dari Dayeuh Luhur ke Pasir Jambu, yang saai ini menjadi Nusa Gede di tengah-tengah Situ Lengkong. Dua orang putra dari Prabu Sanghyang Boros Ngora yakni Prabu Haryang Kuning dan Prabu Haryang Kancana, adalah penerus leluhur kerajaan Panjalu berikutnya.
Kekuasaan Kabataraan (Tahta Suci)
Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura atau Tasikmalaya).
Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu.Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih.Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan.
Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sezaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling.Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan.
Hubungan dengan Kemaharajaan Sunda
Kemaharajaan Sunda adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723) dan Kerajaan Galuh yang didirikan Sang Wretikandayun (670-702). Kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah satu mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama Sanjaya (723-732).
Putera Sena atau Bratasenawa (709-716) Raja Galuh ketiga ini sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan setelah menjadi menantu Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma setelah berhasil menyatukan Galuh dengan Sunda bergelar Sanjaya.Sunda dan Galuh sebelumnya adalah pecahan dari Kerajaan Tarumanagara (358-669).
Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya di Kawali. Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang disebut sebagai orang Sunda.
Panjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).
Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao, 1944:196).
Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.
Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali .Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi).Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini. Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.
Sebagai tempat pariwisata, ‘Situ Lengkong’ Panjalu memiliki pesona alam yang sangat menarik. Bentuk danaunya melingkar dengan air yang jernih serta di tengah-tengah danau tersebut terdapat daratan atau disebut dengan ‘nusa’. Daratan di sekelilingnya dipenuhi dengan berbagai jenis tumbuhan (kayu) dan hidup beberapa jenis margasatwa. Dijadikan sebagai tempat wisata budaya dan ziarah, karena di sekitar ‘Situ Lengkong’ Panjalu terdapat bangunan kecil tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan ‘Kerajaan Panjalu’, yang diberi nama ‘Museum Bumi Alit’. Sejak ‘Kerajaan Panjalu’ itulah Agama Islam mulai menyebar luas. Salah satu kebudayaan yang sampai sekarang masih tetap dilakukan secara turun-temurun, yaitu upacara adat sakral ‘Nyangku’. Pelaksanaan upacara adat ‘Nyangku’ dilakukan oleh sesepuh Panjalu, para tokoh, penjaga makam (kuncen), dan unsur pemerintahan, yang dikordinir oleh Yayasan Boros Ngora dan Pemerintahan Desa Panjalu.
Nyangku
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian) benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata yankoberubah menjadi nyangku.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal).
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada zaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku.
Rangkaian kegiatan tradisi "Nyangku" tersebut dilaksanakan dengan membersihkan benda pusaka peninggalan Raja Panjalu setelah melakukan ziarah ke makam Prabu Hariang Kencana putra dari Hariang Borosngora Raja Panjalu yang dimakamkan di Situ Lengkong, Panjalu.
"Nyangku ini sebuah budaya, tradisi yang terus dijaga oleh warga Panjalu, sebagai penghormatan sesepuh kapungkur (dahulu) dengan membersihkan benda pusaka peninggalan zaman dulu," kata salah seorang panitia pelaksana tradisi Nyangku, Tatang. Upacara Nyangku merupakan kegiatan yang dinanti-nanti masyarakat Ciamis, bahkan warga Panjalu yang berada di luar kota sengaja datang untuk menghadiri upacara adat tahunan tersebut.
Salah seorang warga Panjalu tinggal dan bekerja di Kota Bandung, Neni Nuraeni mengatakan sengaja libur bekerja hanya sekedar ingin menyaksikan upacara adat Nyangku. Bukan hanya Neni yang sengaja datang ke Panjalu, melainkan tetangganya juga saudara-saudaranya yang tinggal di luar kota menyempatkan waktu untuk menghadiri upacara Nyangku.
"Memang bukan tuntutan harus datang. Bukan saya saja tapi saudara-saudara saya juga sengaja datang ke sini, seperti Lebaran saja kumpul-kumpul," kata Neni. Pengunjung memadati lapangan alun-alun Panjalu dan menyambut kedatangan rombongan para warga yang membawa benda pusaka setelah berziarah ke makam di Situ Lengkong.
Rombongan pembawa pusaka mengenakan pakaian muslimin dan muslimah beserta pakaian adat Sunda dengan berjalan kaki bersamaan dari Bumi Alit atau rumah penyimpanan benda pusaka menuju Situ Lengkong, kembali ke alun-alun dan disimpan di Bumi Alit.Pembawa pusaka diiringi dengan lantunan musik rebana sambil membacakan salawat menuju panggung utama tempat membersihkan benda pusaka. Menurut cerita masyarakat Panjalu, Nyangku merupakan ungkapan terima kasih telah masuknya ajaran agama Islam ke wilayah Panjalu yang dibawa oleh seseorang bernama Sanghyang Borosngora.
para sesepuh dan pembawa pusaka Kerajaan Panjalu memasuki Bumi Alit
Upacara Nyangku 11 Maret 2010. Sesepuh Panjalu, berpakaian adat Sunda warna hitam (baris kedua (kiri-kanan): HR Atong Tjakradinata (mantan Kuwu/Kepala Desa Panjalu) & HRM Tisna Argadipraja (cicit Rd. Demang Aldakusumah)
rombongan pembawa pusaka keluar dari Bumi Alit menuju Nusa Larang di Situ Lengkong
barisan pembawa perlengkapan upacara
para jagabaya bersenjata tombak dan golok mengawal prosesi acara
ribuan orang memadati Alun-alun Panjalu menyaksikan proses penjamasan pusaka
prosesi penjamasan pusaka (kiri-kanan) HR Afdanil Ahmad Kertadipraja & HRM Tisna Argadipraja
Disamping itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu dan bupati-bupati penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
8. Sumber air gunung bitung
9. sumber air ciomas
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak.
Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.
Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka itu kemudian diletakan di atas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih pembungkusnya.
Setelah itu benda-benda pusaka segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain.
Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit.
Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.
Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.
Puncak upacara, yang sekaligus merupakan saat yang paling dinantikan, ditandai dengan pembersihkan benda pusaka tersebut menggunakan air yang diambil dari beberapa mata air yang dicampur jeruk nipis.
Pedang dan pusaka lainnya adalah simbol yang menggambarkan iman, hati, fikiran, dan tindakan kita yg senantiasa harus selalu dirawat, dibersihkan, diperhalus juga dipertajam. Perang kita bukan perang antar sesama, Nyangku adalah Genderang Perang Melawan Diri Sendiri.
Bumi alit
Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu.
Pasucian Bumi Alit Panjalu
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu.
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu.
Begitu pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M. Kartosuwiryo (1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran rumah penduduk.
Para pemberontak DI/TII itu sempat merampas benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.
Maung panjalu
Pada suatu malam Raja Majapahit Brawijaya duduk menyendiri menikmati malam yang indah. Ingatnya menerawang mengingat sejarah nenek moyang, hingga beliau sampai mengagumi keagungan Tuhan pada malam itu.“Ya !” Kata beliau, ”betapa pentingnya persatuan demi keutuhan Negara, perlu adanya ikatan persahabatan dengan Negara lain yang didalamnya lebih banyak menguntungkan dari pada menaklukan suatu negara dengan tekanan senjata yang penuh kekejaman dan kebencian itu,” lanjut raja berkata dalam hatinya. Timbullah keinginan beliau utuk mengadakan ikatan dengan Negara Padjajaran di Pasunda dengan jalan perkawinan.
Keesokan harinya raja memanggil patih dan bersabda untuk menyampaikan niatnya untuk meminang ke Padjajaran di Pasundan dengan jalan perkawinan. Hari itu juga patih mengumpulkan para prajurit dan menyiapkan perbekalan yang dibutuhkan lalu berangkat menuju Negara Padjajaran. Setelah beberapa hari menempuh perjalanan, akhirnya utusan dari Majapahit sampai juga pada tujuan dengan mendapat sambutan yang ramah dari raja ataupun warga istana lainnya.
Kepada baginda disampaikan surat sebagai penguatnya. Menurut raja Padjajaran surat lamaran adalah ajakan hidup bersaudara, sebagi surat silaturahmi yang menghiasi kasih sayang, malah sebagi penghormatan kalau setuju menerimanya. Maka dari itulah setelah dipikirkan putra raja menyetujui dan menerimannya dengan senang hati sekaligus menentukan hari perkawinan.
Setelah patih Majapahit berserta pengiringnya pamit pulang. Setibanya di Majaphit kepada raja disampaikan hasil pinangan dan sekaligus hari perkawinannya. Dalam kegembiraan itu dia tidak menyia-nyiakan waktu. Ia pun berangkat ke Padjajaran untuk mengikat tali kasih dengan Puteri Kencana Larang.
Setelah seminggu, diboyongnya Putri Kencana Larang ke Negara Majapahit, setelah beberapa bulan lamanya puteri Kencana Larang menyatakan bahwa ia sedang berbadan dua. Ketika Nyi Putri akan mengandung sembilan bulan, ada tersirat dihatinya ingin merencanakan dan menyatakan kepada Prabu Brawijaya untuk pergi ke Padjajaran.“Tuanku Raja buah hati, izinkanlah hamba pergi ke ibu dan ayah, alangkah bahagianya hati jika padaa waktu melahirkan disaksikan oleh ibu ayah dan suami tercinta, maka hamba mohon dan tidak keberatan untuk melepaskannya,” pinta Puteri Kencana Larang kepada suaminya.
“Tidak layak Kanda melepaskan melati sanjunganku sendiri dalam keadaan begitu ke Padjajaran, seyogyanya tangan kanda sendiri yang harus meletakan puspa hatiku pada putri aslinya, namun kiranya dinda dapat memaafkan kanda bila karena kepentingan Negara kanda mewakilkan pengantaran dinda ke Padjajaran kepada salah seorang mentri saja,” begitulah kata Prabu Brawijaya setelah Puteri Kencana Larang tidak dapat dihalangi lagi dan tidak bisa dilarang. Alangkah bahagia hatinya puteri Kencana Larang diusung melalui gunung dan lembah menuju Padjajaran di Jawa Barat tanah Pasundan.
Setelah beberapa hari perjalanan dengan rombongan pengawal melalui jurang naik turun gunung memotong hutan dan sungai sapailah mereka di daerah Ciamis Jawa Barat di kaki Gunung Sawal. Disana ia mulai merasakan perutnya sakit serasa maau melahirkan. Maka kedua rombongan memerintahkan agar berhenti untuk memberi pertolongan pada Nyi Puteri. Nyi Puteri memerintahkan agar dibuatkan tempat untuk berteduh untuk dia melahirkan nanti.
Dipinggir sungai Citanduy yang cukup memberi perlindungan dari terik matahari dan hujan. Baginda puteri bersbda: ”Kita menumbangkan kayu-kayu yang banyak untuk membuat bangunan-bangunan ini, mari kita beri nama tempat ini Panumbangan”.
Setelah itu sang puteri makin menjadi sakit perut dan tak lama kemudian dengan selamat lahirlah dua orang anak, yang satu putera dan yang satu puteri. Adapun bali (ari-ari; red) nya dimasukan kedalam dandang tanah (pendil) yang kemudian dikubur dibawah pohon yang rindang. Setelah puteri Kencanan Larang merasa sehat kembali badannya lalu ia melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa hari sampailah di Istana Padjajaran. Ia disambut oleh ayahnya dan ibunya dengan haru dan gembira. Baginda Raja Padjajaran saat itu memberi nama anak laki-laki “Bongbang Larang” dan yang perempuan “Bongbang Kencana”. Syahdan dengan diasuh oleh kakek-nenek ibundanya puteri. Kedua anak itu tumbuh dengan sehat, dan akhirnya sampai akil baligh, tapi mereka belum tahu siapa ayahnya karena semua isi kerajaan merahasiakan hal itu. Dalam usia 15 tahun belum juga tahu dengan ayah sebenarnya.
Prabu Brawijaya belum juga menengok ataupun menyuruh orang lain. Tali bathin antara Majapahit dan Padjajaran itu terus menghubung tidak putus-putusnya dan disaat-saat sebelum tidur, keduanya terus menerus memecahkan hal itu kaena tetap mengganggu ketenangan hatinya, yaitu siapakah ayah yang sebenarnya, kepada siapapun hal sebenarnya, kepada siapapun hal itu ditanyakan selalu dijawab bahwa Raja Padjajaranlah ayahnya. Jawaban itu tidak dapat diterimanya karena tahu bahwa ibunya Kencana Larang memanggilnya "Ayahanda".
Bongbang Larang tidak putus asa meskipun kakek, nenek dan ibundanya tidak terus terang siapa ayahnya maka ia mendesak salah satu emban untuk menceritakan siapa ayah yang sebenarnya. Karena didesak terus maka emban tersebut menceritakan bahwa Prabu Wijaya Raja Majapahitlah ayah mereka berdua.
Setelah tahu siapa ayahnya, pada suatu malam Bongbang Larang menghadap pada kakeknya untuk meminta izin menghadap ayahnnya di Majapahit. Kakeknya sangat heran dari mana dia tahu bahwa ayahnya ada di Majapahit. Raja Padjajaran tidak rela melepaskan Bongbang Larang pergi kemanapun apalagi ke Majapahit. Akhirnya pergilah Bongbang Larang ke kamar ibunya untuk meminta doa restu demi keselamtan ke Majapahit.
Namun sayangnya, bunda nampak sedang beristirahat dan dia tidak berani mengganggunya. Bongbang Larang berlutut dan menyembah bundanya yang tengah tidur itu kemudian pergi meninggalkan istana.
Pada keesokan hari penghuni istana sibuk mencari Bongbang Larang, tapi sayang sekali dia tidak ditemukan.
Maka raja Padjajaran memberitahukan kepada Kencana Larang yang kelihatannya sangat sedih bahwa Bongbang Larang pergi ke Majapahit. Kini Bongbang Kencana dapat menyusul kakaknya. Kemudian diceritakan kejadian di istana dan berangkatlah bersama-sama mencari ayahnya di Majapahit.
Setelah berbulan-bulan sampailah mereka di Panumbangan. Mereka sangat dahaga dan mereka menemukan dandang dibawah pohon yang rindang, dandang itu tiada lain adalah tempat mengubur bali mereka dulu ketika dilahirkan.
Tanah penguburnya habis dihanyutkan air dan tinggalah dandang itu berdiri di permukaan tanah. Maka diperiksalah dandang itu dan ternyata berisi air yang sangat jernih dari cukup untuk diminum berdua. Karena dahaga Bongbang Larang segera mengangkat dangdang itu untuk diminum langsung dari dangdangnya, namun apa yang terjadi? Dangdang itu jatuh mencakup kepalanya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari dangdang, tapi sia-sia belaka.
Bongbang Kencana memukul dandang itu sekuat tenaga, tapi aneh dandang itu tidak juga pecah. Maka dibimbinglah Bongbang Larang oleh adiknya mencari seorang dukun bernama“Aki Garahang”. Pada Aki Garahang diceritakan perjalanan mereka hingga kejadian tentang peristiwa dandang itu.
Melihat keadaan mereka berdua, Aki Garahang merasa iba dan langsung menolong mereka dengan cara dandang tersebut dipukul menggunakan kujang pusaka hingga pecah berkeping-keping, maka Bongbang Larang terlepas dari marabahaya. Aki Garahang meminta kepada anak itu untuk tidak meneruskan perjalanannya dan supaya menetap dalam beberapa hari, kedua putra itu menyambut permintaan Aki Garahang dengan baik.
Keesokan harinya ketika Aki Garahang akan pergi berpesan kepada kedua anak itu untuk tidak bermain-main di Cipangbuangan.
Cipangbuangan airnya tenang sehingga memikat kedua remaja itu untuk turun menyegarkan badan. Ketika muncul, Bongbang Larang bukan main kagetnya begitu Bongbang Kencana terperanjat melihat Bongbang Larang menjadi harimau pula. Masing-masing memeriksa dirinya dan mereka yakin bahwakeduannya telah berubah menjadi harimau.
Dengan rasa menyesal. Kedua binatang itu pulang ke rumah Aki Garahang. Iba hati melihat kedua remaja itu telah berubah menjadi harimau berkata: “Aki tidak dapat berbuat sesuatu apapun, itu karena akibat kelalaian berdua, tidak mengindahkan petuah orang tua yang telah banyak makan asam garam !” Kedua harimau itu sama-sama menerima kesalahannya, kemudian tanpa bertanya apa-apa lagi setelah pamit mereka meneruskan perjalanannya.
Ketika mereka menyeberangi kali Cimuntur mereka hampir mati terjerat Bole Akar Oyong. Setelah mereka melepas dari bahaya itu terus dihanyutkan Cimuntur yang deras itu. Bongbang Larang terhisap oleh air yang mengalir melalui selubung batang enau yang dibelah sehingga beliau terjepit oleh “selubung gawul” (penangkap ikan) itu. Mujurlah seorang petani dapat menolongnya ke darat.
Atas permintaan Bongbang Larang bungbung yang menyelubungi Bongbang Larang itu oleh petani itu tadi dicobanya dibelah dengan kapak tetapi tidak berhasil. Setelah itu keduanya dibawa ke raja Panjalu di Dayeuh Luhur. Raja dengan mudah dapat melepaskan selubung celaka itu, sebagai terima kasihnya kedua harimau itu mengucapkan janji bahwa: ”Hamba turun temurun tidak akan menggangu keturun Panjalu, kecuali mereka yang :
1. Meminum langsung dari Dandang
2. Membuat pembuluh tidak dibelah
3. Menanam oyong"
Janji tersebut dikuatkan oleh mantra raja Panjalu.
Setelah itu, kedua harimau meneruskan perjalanan menuju Majapahit dan akhirnya sampailah mereka disana. Kepada penjaga pintu yang mulanya akan mengusir mereka, kedua harimau itu menerangkan ingin berjumpa dengan Prabu Majapahit. Baginda berkenan menerima kedua tamu yang aneh itu. Sambil bercucuran air mata kedua harimau itu mengisahkan kepada baginda perjalanan mereka dari semejak berangkat sampai di Majapahit.
Prabu Wijaya memeluk kedua putranya dengan tangis pula seraya berkata: “Malang tak dapat disangkal, tapi sejak saat ini ku angkat nanda sebagai Raja Harimau di Pasundan”. Demikian cerita singkat mengenai Maung Panjalu yang menjadi cerita turun temurun rakyat Panjalu.
Mengelilingi Situ Lengkong
Salah satu dermaga menuju Nusa Gede
“Untuk menuju Nusa Gede, makam Prabu Dipati Arya Kencana, pengunjung terlebih dahulu harus menaiki perahu dayung mengelilingi Situ Lengkong” jelas Mamat, seorang nahkoda perahu dayung tatkala saya ingin menyewa sebuah perahu dayung di dermaga tepi Situ Lengkong.
Sewa satu perahu seharga Rp 125.000,-. Biaya perahu bisa juga dihitung per orang yakni Rp 5.000,-, dengan catatan perahu akan berangkat setelah terisi penuh 25 orang. Saya beruntung, ada rombongan dari Padang yang juga akan berkeliling Situ Lengkong. Kami sharebiaya perahu. Tak perlu menunggu lama, kami langsung memulai perjalanan di air Situ Lengkong.
Seperti kayuhan sepeda.
Mamat, sang nahkoda terlihat bersemangat mengayuh pedal. Perahu ini dijalankan bukan menggunakan mesin tempel. Namun, menggunakan mekanika gerak yang ditimbulkan dari kayuhan pedal layaknya mengayuh sepeda. Disediakan juga dayung.Terlihat beberapa penumpang mendayung, seakan-akan ikut membantu gerak perahu.Padahal, perbuatan demikian hanya sekedar merasakan sensasi naik perahu dayung saja. Tetap saja, perahu bergerak karena kayuhan sang nahkoda.
Gerbang Nusa Gede. Menuju makam.
Sampailah di pendaratan Nusa Gede.Sebuah gerbang bergapura, bertembok putih dengan hiasan cat warna hijau.Ada prasasti bertuliskan bahasa Sunda di kedua sisi tembok gapura itu. Tampak juga ada dua patung harimau di depan gapura, seakan-akan merekalah penjaga gerbang Nusa Gede. Konon, harimau ini memiliki kaitannya dengan sejarah Panjalu.Keduanya dikenal sebagai mitos Maung Panjalu. Yang satu adalah jantan: Bongbang Larang, yang satu adalah betina: Bongbang Kancana. Jarak dari dermaga perahu sampai gapura Nusa Gede sebenarnya tak jauh, hanya sekitar 200 m.
Dari belasan penumpang itu, hanya saya dan sepupu saya yang berziarah di makam.Sisanya sekedar mengunjungi Nusa Gede untuk menikmati lebatnya hutan.Menikmati kicauan burung-burung yang saling bersahut-sahutan.
Perjalanan pulang ke dermaga adalah paling dinantikan.Setidaknya oleh sebagian besar rombongan.Pulang berarti mengelilingi sebagian besar Situ Lengkong.Berada di atas perahu tentu mengasyikkan sembari menikmati pemandangan Situ Lengkong dengan perbukitan-perbukitan hijau yang terhampar mengelilinginya.
Beberapa kami berpapasan dengan perahu lain. Ketika mereka tersenyum, kami pun berbalas senyum.Pada suatu momen, kami takjub dengan burung-burung kecil yang keluar dari hutan Nusa Gede.Dari perairan, hutan Nusa Gede kelihatan sangat lebat.Dia kelihatan perawan, tidak terlihat sejengkal tanah bekas tebangan.
Selain sebagai tempat dikeramatkan, Nusa Gede adalah hutan lindung yang ditetapkan sejak zaman Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1919, dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Besluit van den Gouverneur-Genreaal van Nederlandsch Indie) nomor 6 tahun 1919, hutan Nusa Gede menjadi hutan lindung. Oleh karena itu, Nusa Gede pun senantiasa alami sepanjang zaman.Setidaknya ada 30 jenis pohon berdiri kokoh mengabadikan Nusa Gede dengan beberapa jenis margasatwa sebagai penghuninya.
Di tengah air situ, saya tergiring pandangan oleh seorang penduduk yang sedang menjala ikan dengan sampan mungilnya.Dia berkali-kali mencoba tapi sepertinya belum berhasil.Namun, dia tetap sabar dan tawakal. “Di Situ Lengkong, banyak ikan mujair, nila dan bawal. Namun, sekarang sudah tak melimpah seperti dulu” kata Mamat.
seorang penduduk setempt sedang menjala ikan di situ lengkong
Memancing di sekitar Nusa Gede
Meski begitu, Situ Lengkong tetap juga menjadi daya tarik bagi para pemancing.Begitu lah yang saya tangkap dari aktivitas pemancing di tepi daratan Nusa Gede.Mereka memancing menggunakan perahu.Rasanya, mereka begitu menikmati hobinya, walau mendapatkan ikan di Situ Lengkong tidaklah mudah.Membutuhkan kesabaran dan kecermatan.
Setengah jam di atas air, mengelilingi Situ Lengkong dan Nusa Gede nya. Akhirnya mendarat dengan selamat.Hari sudah sore, matahari makin mendekat di ufuk barat.Namun, semakin sore, bukan semakin sepi.Malahan pengunjung semakin banyak.Semakin sore, semakin tua orang-orang yang berkunjung.Puluhan rombongan orang tua berpeci hitam, berkopyah putih, berbaju koko bagi laki-laki atau berjilbab bagi perempuan kian menyesaki dermaga.Mereka menunggu giliran menyeberang ke makam di tengah Nusa Gede.
Ternyata, Nusa Gede, Situ Lengkong, Panjalu merupakan salah satu destinasi ziarah utama di Jawa Barat bagian selatan. “Sehari pengunjung bisa mencapai ribuan orang untuk berziarah ke makam Mbah Panjalu, kebanyakan dari Jawa Timur.” pungkas Mamat sembari saya berpamitan keluar dari dermaga.Saya pun melangkah pulang dari Situ Lengkong.Membawa kesan alami dan religi.
Perahu dayung mengelilingi Situ Lengkong.
Berpapasan dengan peziarah lain di atas Situ Lengkong.
Dermaga Situ Lengkong dari atas air.
Ciamis merupakan salah satu kota kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur Kota Priangan, julukan lain Jawa Barat. Di bagian utara kota Ciamis terdapat salah satu kota kecil (kota kecamatan), yaitu Panjalu. Kota Panjalu terletak sekitar 100 km dari kota Bandung (ibu kota Propinsi Jawa Barat), sekitar 75 km dari kota Cirebon, dan sekitar 30 km dari arah kota Ciamis.
Kota kecil ini, ternyata memiliki satu legenda kehidupan masa lalu yang cukup menarik.Di kawasan Panjalu terdapat sebuah danau buatan yang sangat indah, yaitu ‘Situ Lengkong’.
Seiring berkembangnya pembangunan sektor pariwisata dan budaya, Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Panjalu sebagai Kota Wisata Budaya Ziarah.
Situ Lengkong adalah sebuah danau kecil seluas 57,95 hektar di daerah Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Di tengah situ, Nusa Gede seluas 9,25 hektar seperti tertidur abadi dengan hamparan hutan lebat dan perawan selama berabad-abad. Kelebatan hutan Nusa Gede menjadi makam bersemayam abadinya Raja-raja Kerajaan Panjalu.Dulunya, Nusa Gede merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu.
Sebagai tempat pariwisata, ‘Situ Lengkong’ Panjalu memiliki pesona alam yang sangat menarik. Bentuk danaunya melingkar dengan air yang jernih serta di tengah-tengah danau tersebut terdapat daratan atau disebut dengan ‘nusa’. Daratan di sekelilingnya dipenuhi dengan berbagai jenis tumbuhan (kayu) dan hidup beberapa jenis margasatwa.